1. Ontang-anting : Anak tunggal lelaki
2. Unting-unting : anak tunggal perempuan
3. Anggana : anak tunggal karena saudara semuanya meninggal dunia
4. gentono - gentini: dua bersaudara, laki-laki dan perempuan
5. Uger-uger Lawang : dua bersaudara, laki-laki semua
6. Kembang mayang: dua bersaudara, perempuan semua
7. Gotong Mayit : tiga bersaudara, laki-laki semua
8. Cukit Dulit : tiga bersaudara, perempuan semua
9. Sendang Kapit Pancuran : tiga bersaudara, perempuan berada ditengah
10. Pancuran Kapit Sendang : tiga bersaudara, laki-laki berada ditengah
11. Serimpi : empat bersaudara, perempuan semua
12. Seramba : empat bersaudara, laki-laki semua
13. Pandawa : lima bersaudara, laki-laki semua
14. Pancagati/Pancalaputri : Lima bersaudara, perempuan semua
15. Ipil-ipil (Pupulan) : lima bersaudara, 1 lelaki, 4 perempuan
16. Padhangan : lima bersaudara, 1 perempuan, 4 lelaki
17. Lumpat Kidang : Bersaudara dengan urutan tidak teratur
18. Gilir Kacang : bersaudara 3 orang lebihdengan urutan laki perempuan atau sebaliknya
19. Gendhong : banyak bersaudara, perempuan ditengah
20. Pathok : banyak bersaudara, laki-laki ditengah
21. Semara : bersaudara lebih 5 orang, laki-laki/perempuan semua
22. Kembar : Lahir bersamaan dari satu rahim ibu
23. Dampit : lahir bersamaan, laki-laki dan perempuan
24. Gondang Kasih : Lahir bersamaan, putih atau cemani
25. Tawang Gantungan : lahir bersamaan dari satu rahim ibu, tetapi berbeda hari (1 hari
26. Bungkus : lahir dalam keadaan bungkus (masih terbungkus tembuni/ari-ari
27. Sakreda : lahir kembar dalam bungkus
28. Sumala : Lahir berpenyakit/aneh
29. Bungkem : lahir tidak menangis
30. Jempina : lahir sebelum masanya (premature
31. Margana : lahir diperjalanan
32. Wahana : lahir dikeramaian
33. Wujungan : lahir ketika keributan (perang, dll
34. Julung Sungsang : lahir saat matahari tinggi
35. Julung Wangi : lahir ketika matahari terbit
36. Julung Sarab : lahir ketika matahari terbenam
37. Julung Pujut : lahir ketika magrib
38. Cemani : lahir hitam mulus
39. Wungle : lahir dengan kulit putih semua
40. Salewah : berkulit 2 (dua) warna
41. Wujil : terlahir kecil dan pertumbuhan selanjutnya tidak bisa tinggi
42. Wungkuk : terlahir punggungnya bungkuk
43. Bucu : terlahi punggungnya bongkok
44. Dengkek : dadanya bongkok / menggembung kedepan
45. Butuh : Dada dan punggungnya bongkok
46. Tiba Sampir : Lahir kalung usus (terjepit tali pusar
47. Tiba Ungker : Ketika lahir tubuhnya terjepit tali pusar
48. Brojol : Bahu/pundak melorot
49. Tokling : lahir kepalanya terlalu kecil
50. Sumala : Anak cacat sejak lahir
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi ruh jiwa seni dan budaya Jawa
Dalam ungkapan ” Crah Agawe Bubrah – Rukun Agawe Santosa ” menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ;
Ojo Dumeh : Merasa dirinya lebih
Mulat sarira, Hangrasa wani : Mawas diri, instropeksi diri
Mikul Duwur, Mendem Jero : Menghargai dan menghormati serta menyimpan – rahasia orang lain.
Jer Basuki Mawa Beya : Kesuksesan perlu atau butuh pengorbanan
Ajining diri saka obahing lati : Harga diri tergantung ucapannya
Prinsip pengendalian diri dengan ” Mulat Sarira ” suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta ” Aja Dumeh ” adalah peringatan kepada kita bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya yang masih mempunyai arti sangat luas.
Kepercayaan terhadap keberadaan roh nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama dan bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adat istiadat masyarakat Jawa,
yaitu : Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran, Akomodatif serta Optimistik.
Berbagai ungkapan dan ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa bermakna ” Piwulang ” atau pendidikan moral, karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual, menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati
Terkemas hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan gending-gending serta kesenian wayang kulit purwa yang perkembanganya mempunyai warna yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju setelah mengenal segala bentuk kesenian dari India dan menjadi sempurna begitu masuk agama Islam di Pulau Jawa.
Paham mistik Jawa yang berpokok ” Manunggaling Kawula Gusti ” (Persatuan manusia dengan Tuhan) dan ” Sangkan Paraning Dumadi ” (asal dan tujuan ciptaan) bersumber pada pengalaman religius, berawal dari sana manusia itu rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber muaranya. Perumusan pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Tutur, Kidung dan Suluk
Wayang sebagai pertunjukan, merupakan ungkapan-ungkapan dan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang, bahasa gerak,suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius yang ” kuno ” seperti tampak bahwa pada tahap perkembangannya dewasa ini, masih berperan pula mitos dan ritus, misalkan pada lakon Ruwat atau Murwa Kala
Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak hanya sekedar tontonan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya, namun juga merupakan tatanan yang harus dititeni kanti titis. (merupakan hukum alam yang maha teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana) untuk menuju kasunyatan serta mencapai kehidupan sejati. Bagi manusia jawa (manusia yang mengerti sejati ) wayang merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku dengan sesama dan bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat berhubungan dengan sang penciptaNya
Tradisi “upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa (jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala
Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut, yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solusi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.
Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asal muasal manusia) ,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden)
Selain Sukerta, terdapat juga ” Ruwat Sengkala atau Sang Kala “ yang artinya menjadi mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum alam ( ruang dan waktu ) ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah lakunya pada masa lalu.
Maturnuwun sanget amargi sampun maos pitutur lan pameling serat carito jawa purwa.
We say many thanks, because've read the advice and reminders of ancient Javanese stories